Allah Ta’ala berfirman, “…Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun.” (QS. Al-Baqarah [2]: 235).
Allah Ta’ala berfirman, “Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (QS. An-Nisâ` [4]: 1).
Muraqabah (merasa diawasi Allah) adalah kelanggengan pengetahuan yang dimiliki oleh seorang hamba dan juga keyakinan yang dimilikinya, bahwa Allah Ta’ala itu melihat apa-apa yang nampak dan apa-apa yang tidak nampak pada dirinya oleh manusia. Ini merupakan buah dari ilmu yang dia miliki, bahwa Allah Ta’ala itu mengawasinya, melihatnya, mendengar ucapannya, mengetahui atas semua amalan yang dilakukannya di setiap waktu, di setiap kesempatan di setiap individu dan di setiap kedipan mata.
Barangsiapa merasa di awasi oleh Allah Azza wa Jalla dalam pikiran yang dia miliki, maka Allah akan menjaga setiap tindakan yang dilakukan oleh anggota tubuhnya.
Tanda-tanda adanya sikap muraqabah
Di antara tanda-tanda sikap muraqabah pada diri seorang hamba adalah mengutamakan apa-apa yang diturunkan oleh Allah berupa wahyu dibandingkan yang lainnya, mengagungkan apa-apa yang diagungkan oleh Allah, serta memandang kecil apa-apa yang dipandang kecil oleh Allah.
Tingkatan muraqabah
Pertama, konsisten untuk merasa diawasi oleh Allah Ta’ala dalam perjalanan menuju kepada-Nya. Pengagungan kepada Tuhan dapat memalingkan seseorang dari pengagungan kepada selain-Nya. Merasakan kehadiran Allah akan melahirkan rasa dekat dan cinta. Jika dua hal itu tidak disertai dengan pengagungan, maka keduanya akan melahirkan peribadatan, keshalihan dan kedekatan dengan Tuhannya, yang dapat membawa seseorang untuk mengagungkan-Nya, sehingga dapat berpaling dari nafsu.
Sesungguhnya senangnya hati kepada Allah merupakan nikmat di dunia yang tiada tara. Rasa senang ini akan mendorong seseorang untuk senantiasa berjalan menuju Allah Azza wa Jalla, mengerahkan usaha untuk mendapatkannya dan mendapatkan keridhaan Allah.
Kedua, merasa diawasi oleh Allah, karena Allah senantiasa mengawasi. Yang demikian itu mengharuskan penjagaan batin dan amalan zhahir. Membersihkan amalan zhahir adalah dengan cara menjaga aktivitas zhahir yang nampak dan membersihkan batin adalah dengan cara menjaga pikiran-pikiran dan kemauan-kemauan batin yang ada.
Ketiga, mengakui bahwa Allah itu lebih dulu ada sebelum selain-Nya. Allah itu telah ada, sebelum selain-Nya ada sama sekali. Setiap yang ada itu merupakan hasil dari ciptaan-Nya, dan apa-apa yang nampak sekarang merupakan sesuatu yang sudah diketahui oleh Allah sebelumnya.
Termasuk bentuk muraqabah yang baik adalah jika engkau mengerjakan sesuatu dengan anggota tubuhmu, maka ingatlah bahwa Allah itu melihatmu. Jika engkau mengatakan sesuatu dengan lisan, maka ingatlah bahwa Allah mendengarkan hal itu.
Jika engkau diam atau menyembunyikan sesuatu, maka ingatlah tentang pengetahuan dan pandangan Allah kepada-Mu. Segala sesuatu itu tidak bisa tersembunyi dari Allah. Sungguh AllahTa’ala berfirman,
“Dan tidakkah engkau (Muhammad) berada dalam suatu urusan, dan tidak membaca suatu ayat Al-Qur`an serta tidak pula kamu melakukan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu ketika kamu melakukannya. Tidak lengah sedikit pun dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah, baik di bumi ataupun di langit. Tidak ada sesuatu yang lebih kecil dan yang lebih besar daripada itu, melainkan semua tercatat dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yunus: 61).
Inti dari muraqabah adalah ketika engkau senantiasa merasa melihat Allah Azza wa Jalla. Barangsiapa menjaga dirinya dari dosa dan merasa diawasi oleh Allah dalam pikiran yang ada pada dirinya, maka Allah akan menjaga setiap aktivitas anggota tubuh yang dia lakukan.
Muraqabah Allah (merasa Selalu Diawasi Allah)
Mukaddimah
Kajian kali ini sangat urgen sekali untuk direnungi sekaligus diamalkan, sebab hanya dengan begitu semua amalan kita akan dapat bernilai. Betapa tidak, bukankah ketika melakukan suatu amalan, seorang hamba selalu berharap agar diganjar oleh Allah dan dinilai-Nya ikhlash karena-Nya bila amalan itu baik dan bila amalan itu buruk, pastilah seorang hamba takut ada yang mengetahuinya. Padahal semua itu pastilah diketahui oleh Allah sebab Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Karena itu, sudah sepantasnyalah seorang hamba merasa dirinya selalu diawasi oleh Allah sehingga semua amalannya terjaga dan dijalankan dengan sebaik-baiknya. Ini semua, tentunya berkat penjagaan seorang hamba terhadap Rabbnya di mana buahnya, Rabbnya pun akan selalu menjaganya.
Naskah Hadits
Dari Ibn ‘Abbas RA., dia berkata, “Suatu hari aku berada di belakang Nabi SAW., lalu beliau bersabda, ‘Wahai Ghulam, sesungguhnya ku ingin mengajarkanmu beberapa kalimat (nasehat-nasehat), ‘Jagalah Allah, pasti Allah menjagamu, jagalah Allah, pasti kamu mendapatinya di hadapanmu, bila kamu meminta, maka mintalah kepada Allah dan bila kamu minta tolong, maka minta tolonglah kepada Allah. Ketahuilah, bahwa jikalau ada seluruh umat berkumpul untuk memberikan suatu manfa’at bagimu, maka mereka tidak akan dapat memberikannya kecuali sesuatu yang telah ditakdirkan Allah atasmu, dan jikalau mereka berkumpul untuk merugikanmu (membahayakanmu) dengan sesuatu, maka mereka tidak akan bisa melakukan itu kecuali sesuatu yang telah ditakdirkan Allah atasmu. Pena-pena (pencatat) telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.” (HR. at-Turmudzy, dia berkata, ‘Hadits Hasan Shahih’. Hadits ini juga diriwayatkan Imam Ahmad)
Urgensi Hadits
Al-Hafizh Ibn Rajab RAH., berkata, “Hadits ini mencakup beberapa wasiat agung dan kaidah Kulliyyah (menyeluruh) yang termasuk perkara agama yang paling urgen. Saking urgennya, sebagian ulama pernah berkata, ‘Aku sudah merenungi hadits ini, ternyata ia begitu membuatku tercengang dan hampir saja aku berbuat sia-sia. Sungguh, sangat disayangkan sekali bila buta terhadap hadits ini dan kurang memahami maknanya.” (Lihat, Jaami’ al-‘Uluum, Jld.I, h.483)
Kosa Kata
Makna perkataannya:
Di belakang Nabi : yakni di atas kendaraannya
Wahai Ghulam : yakni bocah yang belum mencapai usia 10 tahun
Jagalah Allah : yakni jagalah aturan-aturan-Nya (Hudud-Nya) dan komitmenlah terhadap segala perintahnya serta jauhilah segala larangannya
Pena-pena (pencatat) telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering : yakni takdir-takdir telah ditetapkan dan telah dicatat di Lauh al-Mahfuuzh
Pesan-Pesan Hadits
1. Hadits di atas menunjukkan perhatian khusus Nabi SAW., terhadap umatnya dan kerja karas beliau di dalam menumbuhkan mereka di atas ‘aqidah yang benar dan akhlaq mulia. Di sini (dalam hadits) beliau mengajarkan si bocah ini –yang tak lain adalah Ibn ‘Abbas- beberapa nasehat dalam untaian yang singkat namun padat makna.
2. Di antara isi wasiat ini adalah agar menjaga Allah Ta’ala, yaitu dengan menjaga Hudud-Nya, hak-hak, perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya. Menjaga hal itu dapat direalisasikan dengan melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya dan tidak melanggar apa yang diperintahkan dan diizinkan-Nya dengan melakukan apa yang dilarang-Nya. Allah Ta’ala berfirman, “Inilah yang dijanjikankepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat.” (Q.s.,Qaaf:32-33)
3. Di antara hal yang terdapat perintah agar menjaganya secara khusus adalah shalat sebagaimana firman-Nya, “Jagalah segala shalat(mu), dan (jagalah) shalat Wustha.” (Q.s.,al-Baqarah:238), dan thaharah (kesucian) sebagaimana bunyi hadits Rasulullah SAW.,“Beristiqamahlah (mantaplah) sebab kamu tidak akan mampu menghitung-hitung. Dan ketahuilah bahwa sebaik-baik pekerjaan kamu adalah shalat sedangkan yang bisa menjaga wudlu itu hanya seorang Mukmin.” (HR.Ibn Majah). Di antaranya juga adalah sumpah sebagaimana firman-Nya, “Dan jagalah sumpahmu.” (Q.s., al-Maa`idah:89)
4. Di antara penjagaan yang diberikan oleh Allah adalah penjagaan-Nya terhadapnya di dalam kehidupan dunia dan akhirat:
a. Allah menjaganya di dunia, yaitu terhadap badannya, anaknya dan keluarganya sebagaimana firman-Nya, “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.” (Q.s., ar-Ra’d:11). Ibn ‘Abbas RA., berkata, “Mereka itu adalah para malaikat yang menjaganya atas perintahAllah. Dan bila takdir telah tiba, mereka pun meninggalkannya.” (Dikeluarkan oleh ‘Abduurrazzaq, al-Firyaaby, Ibn Jarir, Ibn al-Mundzir dan Ibn Abi Haatim sebagai yang disebutkan di dalam kitab ad-Durr al-Mantsuur, Jld.IV, h.614). Allah juga menjaganya di masa kecil, muda, kuat, lemah, sehat dan sakitnya.
b. Allah juga menjaganya di dalam agama dan keimanannya. Dia menjaganya di dalam kehidupannya dari syubhat-syubhat yang menyesatkan dan syahwat yang diharamkan.
c. Allah juga menjaganya di dalam kubur dan setelah alam kubur dari kengerian dan derita-deritanya dengan menaunginya pada hari di mana tiada naungan selain naungan-Nya
5. Di antara penjagaan Allah lainnya terhadap hamba-Nya adalah menganugerahinya ketenangan dan kemantapan jiwa sehingga dia selalu berada di dalam penyertaan khusus Allah. Mengenai hal ini, Allah berfirman ketika menyinggung tentang Musa dan Harun AS.,“Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku berserta kamu berdua; Aku mendengar dan melihat.” (Q.s., Thaaha:46) Demikian juga dengan yang terjadi terhadap Nabi dan Abu Bakar ash-Shiddiq saat keduanya berhijrah dan berada di gua, Rasulullah SAW., bersabda,“Apa katamu terhadap dua orang di mana Yang Ketiganya adalah Allah? Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah beserta kita.” (HR.Bukhari, Muslim dan at-Turmudzy)
6. Seorang Muslim wajib mengenal Allah Ta’ala, ta’at kepada-Nya dan selalu mengadakan kontak dengan-Nya dalam semua kondisinya sebab orang yang mengenal Allah di dalam kondisi sukanya, maka Allah akan mengenalnya di dalam kondisi sulitnya dan saat dia berhajat kepada-Nya
7. Terkadang ada orang yang tertipu dengan kondisi kuat, fit, muda, sehat dan kayanya namun sesungguhnya nasib orang yang demikian ini hanyalah kerugian, kesia-siaan dan celaka
8. Seorang harus selalu antusias untuk memperbanyak meminta pertolongan kepada Allah dan memohon kepada-Nya dalam semua kondisi dan situasi yang dihadapinya. Hendaklah dia tidak memohon kepada selain-Nya terhadap hal tidak ada yang mampu melakukannya selain Allah seperti meminta kepada para wali yang shalih, orang mati dan sebagainya. Allah berfirman,“Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu pula kami meminta tolong.”(Q.s., al-Fatihah:5)
9. Sesungguhny apa-apa yang menimpa seorang hamba di dunia, baik yang mencelakakan dirinya atau yang menguntungkannya; semuanya itu sudah ditakdirkan atasnya. Dan tidaklah menimpa seorang hamba kecuali takdir-takdir yang telah dicatatkan atasnya di dalam kitab catatan amal sekalipun semua makhluk berupaya untuk melakukannya (mencelakan dirinya atau memberikan manfa’at kepadanya). Allah berfirman, “Katakanlah, sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami.” (Q.s.,at-Taubah:51)
10. Bila seorang hamba telah mengetahui bahwa tidak akan ada yang dapat menimpanya baik berupa kebaikan, keburukan, hal yang bermanfa’at atau pun membahayakannya kecuali apa yang telah ditakdirkan oleh Allah darinya, serta mengetahui bahwa seluruh upaya yang dilakukan semua makhluk karena bertentangan dengan hal yang ditakdirkan tidak akan ada gunanya sama sekali; maka ketika itulah dia akan mengetahui bahwa hanya Allah semata Yang memberi mudlarat, Yang menjadikan sesuatu bermanfa’at, Yang Maha Memberi atau pun Menahannya. Sebagai konsekuensi dari semua itu, seorang hamba mestilah mentauhidkan Rabbnya dan menunggalkan-Nya dalam berbuat keta’atan dan menjaga Hudud-Nya.
11. Seorang Muslim harus menghadapi takdir-takdir Allah yang tidak mengenakkannya dengan penuh keridlaan dan kesabaran agar bisa meraih pahala atas hal itu. Allah Ta’ala berfirman,“Sesungguhnya orang-orang yang bersabar akan diganjari pahala mereka dengan tanpa hisab (perhitungan).” (Q.s., az-Zumar:10). Dan dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW., bersabda,“Sungguh menakjubkan kondisi seorang Mukmin; sesungguhnya semua kondisinya adalah baik, jika ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur; maka itu adalah baik baginya. Dan bila ia ditimpa hal yang tidak menguntungkannya (kemudlaratan), ia bersabar; maka itu adalah baik (pula) baginya.” (HR.Muslim)
12. Seorang Muslim tidak boleh dihantui keputusasaan dan pupus harapan terhadap rahmat Allah ketika mengalami suatu problem atau musibah. Ia harus bersabar dan mengharap pahala dari Allah atas hal itu serta bercita-cita agar mendapatkan kemudahan (jalan keluar) sebab sesungguhnya kemenangan itu bersama kesabaran dan bersama kesulitan itu ada kemudahan .
(SUMBER: Silsilah Manaahij Dawraat al-‘Uluum asy-Syar’iyyah –al-Hadiits- Fi`ah an-Naasyi`ah, karya Prof.Dr.Faalih bin Muhammad ash-Shaghiir, h.104-109)
Kajian kali ini sangat urgen sekali untuk direnungi sekaligus diamalkan, sebab hanya dengan begitu semua amalan kita akan dapat bernilai. Betapa tidak, bukankah ketika melakukan suatu amalan, seorang hamba selalu berharap agar diganjar oleh Allah dan dinilai-Nya ikhlash karena-Nya bila amalan itu baik dan bila amalan itu buruk, pastilah seorang hamba takut ada yang mengetahuinya. Padahal semua itu pastilah diketahui oleh Allah sebab Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Karena itu, sudah sepantasnyalah seorang hamba merasa dirinya selalu diawasi oleh Allah sehingga semua amalannya terjaga dan dijalankan dengan sebaik-baiknya. Ini semua, tentunya berkat penjagaan seorang hamba terhadap Rabbnya di mana buahnya, Rabbnya pun akan selalu menjaganya.
Naskah Hadits
Dari Ibn ‘Abbas RA., dia berkata, “Suatu hari aku berada di belakang Nabi SAW., lalu beliau bersabda, ‘Wahai Ghulam, sesungguhnya ku ingin mengajarkanmu beberapa kalimat (nasehat-nasehat), ‘Jagalah Allah, pasti Allah menjagamu, jagalah Allah, pasti kamu mendapatinya di hadapanmu, bila kamu meminta, maka mintalah kepada Allah dan bila kamu minta tolong, maka minta tolonglah kepada Allah. Ketahuilah, bahwa jikalau ada seluruh umat berkumpul untuk memberikan suatu manfa’at bagimu, maka mereka tidak akan dapat memberikannya kecuali sesuatu yang telah ditakdirkan Allah atasmu, dan jikalau mereka berkumpul untuk merugikanmu (membahayakanmu) dengan sesuatu, maka mereka tidak akan bisa melakukan itu kecuali sesuatu yang telah ditakdirkan Allah atasmu. Pena-pena (pencatat) telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.” (HR. at-Turmudzy, dia berkata, ‘Hadits Hasan Shahih’. Hadits ini juga diriwayatkan Imam Ahmad)
Urgensi Hadits
Al-Hafizh Ibn Rajab RAH., berkata, “Hadits ini mencakup beberapa wasiat agung dan kaidah Kulliyyah (menyeluruh) yang termasuk perkara agama yang paling urgen. Saking urgennya, sebagian ulama pernah berkata, ‘Aku sudah merenungi hadits ini, ternyata ia begitu membuatku tercengang dan hampir saja aku berbuat sia-sia. Sungguh, sangat disayangkan sekali bila buta terhadap hadits ini dan kurang memahami maknanya.” (Lihat, Jaami’ al-‘Uluum, Jld.I, h.483)
Kosa Kata
Makna perkataannya:
Di belakang Nabi : yakni di atas kendaraannya
Wahai Ghulam : yakni bocah yang belum mencapai usia 10 tahun
Jagalah Allah : yakni jagalah aturan-aturan-Nya (Hudud-Nya) dan komitmenlah terhadap segala perintahnya serta jauhilah segala larangannya
Pena-pena (pencatat) telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering : yakni takdir-takdir telah ditetapkan dan telah dicatat di Lauh al-Mahfuuzh
Pesan-Pesan Hadits
1. Hadits di atas menunjukkan perhatian khusus Nabi SAW., terhadap umatnya dan kerja karas beliau di dalam menumbuhkan mereka di atas ‘aqidah yang benar dan akhlaq mulia. Di sini (dalam hadits) beliau mengajarkan si bocah ini –yang tak lain adalah Ibn ‘Abbas- beberapa nasehat dalam untaian yang singkat namun padat makna.
2. Di antara isi wasiat ini adalah agar menjaga Allah Ta’ala, yaitu dengan menjaga Hudud-Nya, hak-hak, perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya. Menjaga hal itu dapat direalisasikan dengan melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya dan tidak melanggar apa yang diperintahkan dan diizinkan-Nya dengan melakukan apa yang dilarang-Nya. Allah Ta’ala berfirman, “Inilah yang dijanjikankepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat.” (Q.s.,Qaaf:32-33)
3. Di antara hal yang terdapat perintah agar menjaganya secara khusus adalah shalat sebagaimana firman-Nya, “Jagalah segala shalat(mu), dan (jagalah) shalat Wustha.” (Q.s.,al-Baqarah:238), dan thaharah (kesucian) sebagaimana bunyi hadits Rasulullah SAW.,“Beristiqamahlah (mantaplah) sebab kamu tidak akan mampu menghitung-hitung. Dan ketahuilah bahwa sebaik-baik pekerjaan kamu adalah shalat sedangkan yang bisa menjaga wudlu itu hanya seorang Mukmin.” (HR.Ibn Majah). Di antaranya juga adalah sumpah sebagaimana firman-Nya, “Dan jagalah sumpahmu.” (Q.s., al-Maa`idah:89)
4. Di antara penjagaan yang diberikan oleh Allah adalah penjagaan-Nya terhadapnya di dalam kehidupan dunia dan akhirat:
a. Allah menjaganya di dunia, yaitu terhadap badannya, anaknya dan keluarganya sebagaimana firman-Nya, “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.” (Q.s., ar-Ra’d:11). Ibn ‘Abbas RA., berkata, “Mereka itu adalah para malaikat yang menjaganya atas perintahAllah. Dan bila takdir telah tiba, mereka pun meninggalkannya.” (Dikeluarkan oleh ‘Abduurrazzaq, al-Firyaaby, Ibn Jarir, Ibn al-Mundzir dan Ibn Abi Haatim sebagai yang disebutkan di dalam kitab ad-Durr al-Mantsuur, Jld.IV, h.614). Allah juga menjaganya di masa kecil, muda, kuat, lemah, sehat dan sakitnya.
b. Allah juga menjaganya di dalam agama dan keimanannya. Dia menjaganya di dalam kehidupannya dari syubhat-syubhat yang menyesatkan dan syahwat yang diharamkan.
c. Allah juga menjaganya di dalam kubur dan setelah alam kubur dari kengerian dan derita-deritanya dengan menaunginya pada hari di mana tiada naungan selain naungan-Nya
5. Di antara penjagaan Allah lainnya terhadap hamba-Nya adalah menganugerahinya ketenangan dan kemantapan jiwa sehingga dia selalu berada di dalam penyertaan khusus Allah. Mengenai hal ini, Allah berfirman ketika menyinggung tentang Musa dan Harun AS.,“Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku berserta kamu berdua; Aku mendengar dan melihat.” (Q.s., Thaaha:46) Demikian juga dengan yang terjadi terhadap Nabi dan Abu Bakar ash-Shiddiq saat keduanya berhijrah dan berada di gua, Rasulullah SAW., bersabda,“Apa katamu terhadap dua orang di mana Yang Ketiganya adalah Allah? Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah beserta kita.” (HR.Bukhari, Muslim dan at-Turmudzy)
6. Seorang Muslim wajib mengenal Allah Ta’ala, ta’at kepada-Nya dan selalu mengadakan kontak dengan-Nya dalam semua kondisinya sebab orang yang mengenal Allah di dalam kondisi sukanya, maka Allah akan mengenalnya di dalam kondisi sulitnya dan saat dia berhajat kepada-Nya
7. Terkadang ada orang yang tertipu dengan kondisi kuat, fit, muda, sehat dan kayanya namun sesungguhnya nasib orang yang demikian ini hanyalah kerugian, kesia-siaan dan celaka
8. Seorang harus selalu antusias untuk memperbanyak meminta pertolongan kepada Allah dan memohon kepada-Nya dalam semua kondisi dan situasi yang dihadapinya. Hendaklah dia tidak memohon kepada selain-Nya terhadap hal tidak ada yang mampu melakukannya selain Allah seperti meminta kepada para wali yang shalih, orang mati dan sebagainya. Allah berfirman,“Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu pula kami meminta tolong.”(Q.s., al-Fatihah:5)
9. Sesungguhny apa-apa yang menimpa seorang hamba di dunia, baik yang mencelakakan dirinya atau yang menguntungkannya; semuanya itu sudah ditakdirkan atasnya. Dan tidaklah menimpa seorang hamba kecuali takdir-takdir yang telah dicatatkan atasnya di dalam kitab catatan amal sekalipun semua makhluk berupaya untuk melakukannya (mencelakan dirinya atau memberikan manfa’at kepadanya). Allah berfirman, “Katakanlah, sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami.” (Q.s.,at-Taubah:51)
10. Bila seorang hamba telah mengetahui bahwa tidak akan ada yang dapat menimpanya baik berupa kebaikan, keburukan, hal yang bermanfa’at atau pun membahayakannya kecuali apa yang telah ditakdirkan oleh Allah darinya, serta mengetahui bahwa seluruh upaya yang dilakukan semua makhluk karena bertentangan dengan hal yang ditakdirkan tidak akan ada gunanya sama sekali; maka ketika itulah dia akan mengetahui bahwa hanya Allah semata Yang memberi mudlarat, Yang menjadikan sesuatu bermanfa’at, Yang Maha Memberi atau pun Menahannya. Sebagai konsekuensi dari semua itu, seorang hamba mestilah mentauhidkan Rabbnya dan menunggalkan-Nya dalam berbuat keta’atan dan menjaga Hudud-Nya.
11. Seorang Muslim harus menghadapi takdir-takdir Allah yang tidak mengenakkannya dengan penuh keridlaan dan kesabaran agar bisa meraih pahala atas hal itu. Allah Ta’ala berfirman,“Sesungguhnya orang-orang yang bersabar akan diganjari pahala mereka dengan tanpa hisab (perhitungan).” (Q.s., az-Zumar:10). Dan dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW., bersabda,“Sungguh menakjubkan kondisi seorang Mukmin; sesungguhnya semua kondisinya adalah baik, jika ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur; maka itu adalah baik baginya. Dan bila ia ditimpa hal yang tidak menguntungkannya (kemudlaratan), ia bersabar; maka itu adalah baik (pula) baginya.” (HR.Muslim)
12. Seorang Muslim tidak boleh dihantui keputusasaan dan pupus harapan terhadap rahmat Allah ketika mengalami suatu problem atau musibah. Ia harus bersabar dan mengharap pahala dari Allah atas hal itu serta bercita-cita agar mendapatkan kemudahan (jalan keluar) sebab sesungguhnya kemenangan itu bersama kesabaran dan bersama kesulitan itu ada kemudahan .
(SUMBER: Silsilah Manaahij Dawraat al-‘Uluum asy-Syar’iyyah –al-Hadiits- Fi`ah an-Naasyi`ah, karya Prof.Dr.Faalih bin Muhammad ash-Shaghiir, h.104-109)
" Merasa Selalu Diawasi Allah ( MURAQABAH)
Kemaksiatan dan kemunkaran yang dilakukan oleh kebanyakan orang dewasa ini baik yang tersembunyi maupun yang dilakukan secara terbuka dengan terang-terangan sudah dijadikan sebagai suatu trend dan kebanggaan, sehingga hampir tiap hari kita disajikan informasi oleh berbagai media baik surat kabar maupun media televisi sebagai menu konsumsi kita sehari-hari masyarakat tentang banyaknya orang-orang yang berurusan dengan pihak kepolisian dan kejaksaan karena terlibat masalah hukum baik karena kasus korupsi, suap, pembunuhan, pemerkosaan, pelecehan sexual, pencurian, perampokan, pelanggaran HAM, perselingkuhan, perbuatan asusila kasus narkoba serta beragam kasus lainnya. Kesemuanya menggambarkan tindakan yang tidak bermoral. Kesemuanya adalah merupakan gambaran perbuatan maksiat dan kemunkaran yang dimurkai. Kesemuanya adalah perbuatan zalim terhadap orang lain maupun perbuatan zalim terhadap diri sendiri.
Apa-apa yang dikemukakan diatas adalah berkaitan dengan kemaksiatan dan kemunkaran dalam hubungan sosial antar manusia yang dalam islam dikenal dengan sebutan muamalah, berkaitan dengan hak antar sesama manusia yang juga populer dengan istilah hablumminannas. Namun sebenarnya kemaksiatan dan kemunkaran yang dilakukan oleh kebanyakan manusia juga terkait dengan hubungan manusia dengan Allah subhanahu wa ta’ala sebagai Sang Khalik
Dimana manusia banyak yang telah mengingkari ketaatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya, karena mereka enggan melaksanakan perintah-perintah seperti enggan dan malas sholat fardu apalagi sholat sunah, mereka juga rajin dalam melakukan pelanggaran-pelanggaran larangan seperti meminum minuman keras (khamr ). Memakan makanan yang haram dan lain-lain sebagainya.
Beragam pelanggaran perintah dan larangan yang disyari’atkan yang dilakukan oleh kebanyakan manusia tiada lain adalah sebagai akibat dari menurutkan hawa nafsu yang tidak terkendali karena ajakan dan godaan syaitan yang memanupalasi neraka itu sebagai hal yang indah dan manis sedangkan surga digambarkannya sebagai hal yang pahit dan tidak menarik.
Sesungguhnya pelanggaran yang dilakukan kebanyakan orang-orang itu dengan berbagai perbuatan kemaksiatan dan kemunkaran dapat disamakan dengan perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang suka melakukan pelanggaran aturan lalu lintas di jalan raya. Apabila di persimpangan empat terdapat polisi lalu lintas yang bertugas mengatur dan mengawasi kelancaran lalu lintas, maka orang-orang akan takut melakukan pelanggaran dan mereka berbuat tertib. Tetapi bila tidak ditemui adanya petugas polusi lalu lintas, maka orang-orang menjadi tidak tertib dan banyak terjadi pelanggaran, disebabkan adanya anggapan mereka bahwa tidak sedang dalam pengawasan pihka polusi lalu lintas, sehingga boleh saja mereka berbuat semaunya sendiri melanggar ketentuan berlalu lintas. Peduli amat dengan aturan-aturan lali lintas.
Pelanggaran yang dilakukan oleh manusia atas ketentuan yang disyari’atkan oleh agama seperti yang diatur dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tiada lain disebabkan kebanyakan manusia itu tidak sadar dan lupa bahwa sebenarnya mereka berada dalam suatu pengawasan yang dilakukan oleh zat yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat serta Maha Mendengar. Sehingga seharusnya setiap individu wajib mempunyai pengetahuan tentang pengawasan langsung terus menerus yang dilakukan terhadap dirinya agar timbul rasa takut dalam dirinya untuk melanggar ketentuan syari’at.Dan sebagai seorang hamba seharusnya memiliki keyakinan bahwa Allah Yang Maha Mengetahui selalu mengawasi dirinya.
Apa itu muraqabah
Mengutip tulisan dari Rikza Maulan, Lc., M.Ag. dalam artikel di blog Meraih Cahaya Illahi bahwa makna dari muraqabah: dari segi bahasa muraqabah berarti pengawasan dan pantauan. Karena sikap muraqabah ini mencerminkan adanya pengawasan dan pemantauan Allah terhadap dirinya. Adapun dari segi istilah, muraqabah adalah, suatu keyakinan yang dimiliki seseorang bahwa Allah SWT senantiasa mengawasinya, melihatnya, mendengarnya, dan mengetahui segala apapun yang dilakukannya dalam setiap waktu, setiap saat, setiap nafas atau setiap kedipan mata sekalipun. Sedangkan Syekh Ibrahim bin Khawas mengatakan, bahwa muraqabah “adalah bersihnya segala amalan, baik yang sembunyi-sembunyi atau yang terang-terangan hanya kepada Allah.” Beliau mengemukakan hal seperti ini karena konsekwensi sifat muraqabah adalah berperilaku baik dan bersih hanya karena Allah, dimanapun dan kapanpun.
Muraqabah sebagaimana yang dikatakan oleh pengarang Manazilus –Sa’irin artinya terus menerus menghadirkan hati bersama Allah. Sedangkan Ibnu Qaiyim al-Zaujiyah rahimahullah menyebutkan bahwa muraqabah artinya pengetahuan hamba secara terus menerus dan keyakinannya bahwa Allah mengetahui zhahir dan bathinnya. Muraqabah ini merupakan pengetahuannya bahwa Allah mengawasinya, melihatnya, mendengar perkataannya, mengetahui amal di setiap waktu dan di manapun, mengetahui setiap hembusan napas dan tak sedikitpun lolos dari perhatian-Nya. Muraqabah ini merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah dengan pemahaman sifat “Arraqib, Al-Alim, Assami’ dan Al-Bashir” pada Allah SWT. Maka barang siapa yang memahami Sifat Allah ini dan beribadah atas dasar konsekwensi Sifat-sifat-Nya ini; akan terwujud dalam dirinya sifat muraqabah
Muraqabah merupakan penerapan ( implementasi ) dari tauhid Al-asma dan Ash-Shifaat, yang mana dengan tauhid ini umat islam sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Al-Allamah Hafizh bin Ahmad Al-Hikami dalam buku Buku Pintar Aqidah Ahlussunah ( Terjemahan ) bahwa : mengimani segala sifat yang digambarkan oleh Allah untuk diri-Nya dalam kitab-Nya, atau sifat yang digambarkan oleh Rasul-Nya dalam hadits, yakni berupa Al-Asma, Al-Husna dan Ash-Sifat Al-Ula. Mempercayainya sebagaimana lahirnya, tanpa mempertanyakan hakikatnya, sebagaimana Allah juga menggabungkan antara penetapan sifat bagi-Nya dan penolakan mencari tahu bagaimana hakikatnya dalam banyak ayat dalam kitab-Nya.
Mengapa muraqabah dikatakan sebagai implementasi dari tauhid Al-Asma dan Ash-Shifat, karena dengan muraqabah tersebut setiap mukmin tidak saja mengimani tetapi juga merasakan didalam hatinya Allah subhanahu wa ta’ala bersamanya dikarenakan adanya sifat-sifat Allah yang terdiri atas As- Samii” ( Yang Maha Mendengar ),Al-Bashiir ( Yang Mahan Melihat ), Al-‘Aliim ( Yang Maha Mengetahui ), Ar-Raqiib ( Yang Maha Mengawasi) dan Asy-Syahiid ( Yang Maha Menyaksikan ).
Dengan muraqabah seseorang merasa bahwa Allah subhanahu wa ta’ala selalu mengawasinya dikarenakan bahwa Allah tersebut sebenarnya adalah Ar-Raqiib ( Yang Maha Mengawasi ). Yaitu yang mengawasi segala apa yang diperbuat hamba-Nya baik yang nyata maupun yang disembunyikan hati, yang memperhatikan setiap jiwa terhadap apa saja yang dilakukannya. Firman Allah :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.( QS.An Nisaa: 1)
Dengan muraqabah seseorang muslim meyakini bahwa Allah itu adalah Asy-Syahiid yaitu Yang Maha Menyaksikan, yang menyaksikan semua mahluk . Menmdengar semua suara, yang tersembunyi dan yang nampak. Allah itu melihat segala yang ada, yang samar dan yang jelas, yang kecil dan yang besar, ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Berkenaan dengan sifat Ar-Raqiib dan Asy-Syahiid ini Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani mengatakan bahwa karena sebab sifat Allah inilah al-Muraaqabah merupakan amal ibadah yang paling tinggi, yaitu beribadah kepada Allah dengan nama-Nya ar-Raqiib, asy-Syahiid. Apabila hamba meyakini bahwa geraknya yang tampak dan tersembunyi diketahui Allah subhanahu ta’ala sehingga menghadirkan keyakinan ini dalam setiap kedaannya, niscayan hal itu menjadikannya pengawasan tersembunyi dari setiap pikirandan linbtasan hati yang menyebabkan murka Allah. Dia memelihara zhahirnya(anggota tubuhnya) dari setiap perkataan atau perbuatan yang menyebabkan murka Allah subhanahu ta’ala dan beribadah dengan dengan derajat ihsan, maka dia beribadah kepada Allah ta’ala seolah-olah ia melihat-Nya. Jika tidak sanggup, hendaklah ia meyakini bahwa sesungguhnya Allah ta’ala melihatnya.
Muraqabahnya seseorang muslim juga dikarenakan sifat Allah subhanahu wa ta’ala yang dimiliki-Nya yaitu As-Samii (Yang Maha Mendengar ). Tentang Allah Maha Mendengar ini disebutkan dalam firman Allah ta’ala :
مَّن كَانَ يُرِيدُ ثَوَابَ الدُّنْيَا فَعِندَ اللّهِ ثَوَابُ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَكَانَ اللّهُ سَمِيعًا بَصِيرًا “Barangsiapa yang menghendaki pahala di dunia saja (maka ia merugi), karena di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”(QS. An Nisaa: 134 ).
Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani mengatakan bahwa As-Samii’ adalah yang pendengaran-N ya meliputi segala sesuatu yang didengar. Segala suara yang ada diatas (langit) dan yang ada di alam b awah ( bumi), Dia mendengarnya yang rahasia dan yang tidak.Semua bahasa tidak ada yang samar bagi-Nya. Suara yang jauh dan dekat, yang rahasia dan nyata, disisi-Nya semua adalah sama. Firman Allah ta’ala :
سَوَاء مِّنكُم مَّنْ أَسَرَّ الْقَوْلَ وَمَن جَهَرَ بِهِ وَمَنْ هُوَ مُسْتَخْفٍ بِاللَّيْلِ وَسَارِبٌ بِالنَّهَارِ Sama saja (bagi Tuhan), siapa diantaramu yang merahasiakan ucapannya, dan siapa yang berterus-terang dengan ucapan itu, dan siapa yang bersembunyi di malam hari dan yang berjalan (menampakkan diri) di siang hari.(QS. Ar Ra’d: 10 ) .
Firman-Nya :
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS. Al Mujaadila : 1 )
Allah subhanahu wa ta’ala Yang Maha Melihat ( Al- Bashirr ) menjadikan hamba-Nya muraqabah dengan Allah, Allah yang penglihatannya meliputi segala yang dilihat di penjuru bumi dan langit, hingga sesuatu yang paling tersembunyi yang ada disana. Dia melihat gerakan semut hitam diatas batu yang keras dimalam yang gelap gulita, seluruh anggota tubuhnya yang tersembunyi dan yang tampak serta perjalanan makanan dalam anggota tubuhnya yang terkecil. Dia juga melihat perjalanan air di dahan-dahan pohon dan akarnya serta seluruh tumbuhan yang berbeda jenis, kecil dan halusnya. Dia melihat tubuh semut yang bergantungan, lebah, lalat, dan yang lebih kecil dari itu.Dia melihat curian mata ( mata yang hianat ), gerakan kelopak mata dan gerakan hati. Firman Allah subhanahu wa ta’ala :
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.(QS.Al Mu’min : 19 )
Muraqabahnya hamba pada Allah didasari kepada Asma dan sifat Allah yang Maha Mengetahui ( Al-‘Aliim ) dan Yang Maha Mengenal. Firman Allah subhanahu wa ta’ala :
وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.(QS. Al An’aam : 18 )
Firman-Nya -
وَالَّذِينَ آمَنُواْ مِن بَعْدُ وَهَاجَرُواْ وَجَاهَدُواْ مَعَكُمْ فَأُوْلَـئِكَ مِنكُمْ وَأُوْلُواْ الأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللّهِ إِنَّ اللّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِي“Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) [626] di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” ( QS. Al Anfaal : 75 )
Nash-nash dalam menyebutkan ilmu Allah subhananu wa ta’ala dan pengetahuan-Nya yang meliputi segal sesuatu secara mendetail sanga banyak, tidak mungkin menyebutkannya satu persatu. Sesungguhnya tidak ada yang tersembunyi dari-Nya walau hanya sekecil dzaeeah ( atom ), di bumi, di langit, tiada pula yang lebih kecil dan lebih besar. Dia tidak pernah lalai dan lupa. Sesungguhnya semua ilmu mahluk, bagaimanapun luas dan banyaknya, kalau dibandingkan dengan ilmu Allah subahanahu wa ta’ala, niscaya akan sirna dan pudar.
Ibnu Qaiyim Al-Jauziyah rahimahullaah dalam buku beliau Madarijus Salikin mengatakan muraqabah seorang hamba mengharmuskan adanya pemeliharaan zhahir dan batin. Memelihara zhahir ialah menjaga semua gerakan zhahir, dan memelihara batin artinya menjaga lintasan sanubari, kehendak dan gerakan-gerakan batin, yang dari gerakan batin ini muncullah penentangan terhadap perintah Allah. Batin haris dibersihkan dari segala syahwat dan kehendak yang bertentangan dengan perintah-Nya, dibersihkan dari segala kehendak yang bertentangan dengan kehendak-Nya.
Pada intinya muraqabah , mencerminkan keimanan kepada Allah yang besar, hingga menyadari dengan sepenuh hati, tanpa keraguan, tanpa kebimbangan, bahwa Allah senantiasa mengawasi setiap gerak-geriknya, setiap langkahnya, setiap pandangannya, setiap pendengarannya, setiap yang terlintas dalam hatinya, bahkan setiap keinginannya yang belum terlintas dalam dirinya. Sehingga dari sifat ini, akan muncul pengamalan yang maksimal dalam beribadah kepada Allah SWT, dimanapun ia berada, atau kapanpun ia beramal dalam kondisi seorang diri, ataupun ketika berada di tengah-tengah keramaian orang. Dan disamping itu karena Allah senantiasa mengawasi setiap gerak-geriknya maka segala tindakan dan perbuatan tidak berseberangan dengan syari’at yang telah digariskan dalam al-QAur’an dan as-sunnah. Allah subhanahu ta’ala berfirman :
هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنزِلُ مِنَ السَّمَاء وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas 'arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya Dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerja ( QS.Al Hadiid : 4 )
Dibawah ini beberapa kutipan yang bersumber dari Kitab Minhjajul Muslim tentang pendapat beberapa ulama salaf mengenai bagaimana sikap seseorang hamba yang muraqabah:
1. Ditanyakan kepada Al-Junaid, “Bagaimana kiat menahan pandangan?” AI-Junaid, “Yaitu pengetahuanmu, bahwa pandangan Dzat yang melihatmu itu lebih dahulu dan lebih cepat daripada penglihatanmu kepada sesuatu yang engkau lihat.”
2. Sufyan Ats- Tsauri berkata, “Hendaklah engkau merasa diawasi oleh Dzat yang mengetahui apa saja yang ada padamu. Hendaklah engkau berharap kepada Dzat yang memenuhi (harapanmu). Dan hendaklah engkau takut kepada dzat yang memiliki hukuman
3. Ibnu Al- Mubarak berkata kepada seseorang, “Hai si Fulan, hendaklah engkau merasa diawasi Allah. ” Orang tersebut bertanya kepada Ibnu Al-Mubarak tentang apa yang dimaksud dengan pengawasan Allah, kemudian Ibnu Al-Mubarak menjawab, “Jadilah engkau seperti orang yang bisa melihat Allah selama-lamanya.” .
Pentingnya Sikap Muraqabah Pada Seorang Hamba
Muraqabah merupakan salah satu sifat yang harus dimiliki oleh seorang muslim. Karena dengan muraqabah inilah, seseorang dapat menjalankan ketaatan kepada Allah SWT dimanapun ia berada, hingga mampu mengantarkannya pada derajat seorang mu’min sejati. Demikian pula sebaliknya, tanpa adanya sikap seperti ini, akan membawa seseorang pada jurang kemaksiatan kepada Allah kendatipun ilmu dan kedudukan yang dimilikinya. Inilah urgensi sikap muraqabah dalam kehidupan muslim
Suatu hal yang sudah pasti dari adanya sifat seperti ini adalah optimalnya ibadah yang dilakukan seseorang serta jauhnya ia dari kemaksiatan. Karena ia menyadari bahwa Allah senantiasa melihat dan mengawasinya. Abdullah bin Dinar mengemukakan, bahwa suatu ketika saya pergi bersama Umar bin Khattab ra, menuju Mekah. Ketika kami sedang beristirahat, tiba-tiba muncul seorang penggembala menuruni lereng gunung menuju kami. Umar berkata kepada penembala: “Hai pengembala, juallah seekor kambingmu kepada saya.” Ia menjawab, “Tidak !, saya ini seorang budak.” Umar menimpali lagi, “Katakan saja kepada tuanmu bahwa dombanya diterkam serigala.” Pengembala mengatakan lagi, “kalau begitu, dimanakah Allah?” Mendengar jawaban seperti itu, Umar menangis. Kemudian Umar mengajaknya pergi ke tuannya lalu dimerdekakannya. Umar mengatakan pada pengembala tersebut, “Kamu telah dimerdekakan di dunia oleh ucapanmu dan semoga ucapan itu bisa memerdekakanmu di akhirat kelak.” Pengembala ini sangat meyadari bahwa Allah memahami dan mengetahuinya, sehingga ia dapat mengontrol segala perilakunya. Ia takut melakukan perbuatan kemaksiatan, kendatipun hal tersebut sangat memungkinkannya. Karena tiada orang yang akan mengadukannya pada tuannya, jika ia berbohong dan menjual dombanya tersebut. Namun hal tersebut tidak dilakukannya.
Urgensi lainnya dari sifat muraqabah ini adalah rasa kedekatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala . Dalam al-Qur’anpun Allah pernah mengatakan, “Dan Kami lebih dekat padanya dari pada urat lehernya sendiri.” Sehingga dari sini pula akan timbul kecintaan yang membara untuk bertemu dengan-Nya. Ia pun akan memandang dunia hanya sebagai ladang untuk memetik hasilnya di akhirat, untuk bertemu dengan Sang Kekasih, yaitu Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam sebuah hadits Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam mengatakan :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَحَبَّ لِقَاءَ اللهِ أَحَبَّ اللهُ لِقَاءَهُ، وَمَنْ كَرِهَ لِقَاءَ اللهِ كَرِهَ اللهُ لِقَاءَهُ “Barang siapa yang merindukan pertemuan dengan Allah, maka Allah pun akan merindukan pertemuannya dengan diri-Nya. Dan barang siapa yang tidak menyukai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun tidak menyukai pertemuan dengannya” (HR. Bukhari).
Seseorang yang bermuraqabah kepada Allah, akan memiliki ‘firasat’ yang benar. Al-Imam al-Kirmani mengatakan, “Barang siapa yang memakmurkan dirinya secara dzahir dengan ittiba’ sunnah, secara batin dengan muraqabah, menjaga dirinya dari syahwat, manundukkan dirinya dari keharaman, dan membiasakan diri mengkonsumsi makanan yang halal, maka firasatnya tidak akan salah.” (Ighatsatul Lahfan, juz I/ 48)
Muraqabah merupakan sunnah perintah Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam. Dalam sebuah hadits beliau mengatakan:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ جُنْدَبِ بْنِ جُنَادَةَ وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ “Bertakwalah kepada Allah dimanapun kamu berada, dan ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik guna menghapuskan perbuatan buruk tersebut, serta gaulilah manusia dengan pergaulan yang baik.” (HR. Tirmidzi)
Seseorang perlu memiliki rasa muraqabah, hal itu dikarenakan :
1.Muraqabah akan menjadikan dia sebagai insan yang memiliki derajat ihsan. Sedangkan derajat ihsan merupakan derajat yang tinggi di sisi Allah subahanahu wa ta’ala. Sebagaimana disebutklan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dalam Shahihnya:
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ…. قَالَ فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ“…Jibril bertanya, beritahukanlah kepadaku apa itu ihsan?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Bahwa ihasan adalah engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Sekiranyapun engkau tidak (dapat) melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu…” (HR. Muslim)
2. Muraqabah menjadikan seseorang sebagai hamba yang bertaqwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana yang diperintahkan olehRasulullah shalallahu’alaihi wa sallam dimanapun kita berada. Sedangkan ketaqwaan tidak akan lahir tanpa adanya muraqabatullah. Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam mengatakan:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ جُنْدَبِ بْنِ جُنَادَةَ وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ “Bertakwalah kepada Allah dimanapun kamu berada, dan ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik guna menghapuskan perbuatan buruk tersebut, serta gaulilah manusia dengan pergaulan yang baik.” (HR. Tirmidzi)
3. Dengan muraqabah maka seseorang tidak akan terjatuh ke dalam kemaksiatan , karena tanpa adanya muraqabah, seseorang memiliki prosentase jatuh pada kemaksiatan lebih besar. Jika seseorang berbuat maksiat, Allah sangat cemburu padanya. Hal ini digambarkan dalam sebuah hadits,bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَغَارُ،وَغِيْرَةُ اللهِ تَعَالَى أَنْ يَأْتِيَ الْمَرْءُ مَا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ “Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda; ‘sesungguhnya Allah SWT cemburu. Dan kecemburuan Allah terjadi jika seorang hamba mendatangi (melakukan) sesuatu yang telah diharamkan baginuya’ (HR. Bukhari)
4. Dengan muraqabah membawa seseorang kepada kesadaran untuk beramal guna kehidupan akhiratnya. Dan hal seperti ini dikatakan oleh Rasulullah SAW sebagai seseorang yang memiliki akal yang sempurna (cerdas). Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam berkata :
عَنْ ضَمْرَةَ بْنِ حَبِيبٍ عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ “Orang yang sempurna akalnya adalah yang menundukkan jiwanya dan beramal untuk bekal kehidupan setelah kematian. Sedangkan orang yang lemah (akalnya) adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya, di samping itu ia mengharapkan angan-angan kepada Allah subahanahu wa ta’ala.” (HR. Tirmidzi)
5. Muraqabah juga akan membawa seseorang untuk meninggalkan suatu perbuatan yang tidak bermanfaat bagi dirinya. Dalam sebuah hadits Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam mengatakan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ “Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah shalallahu’alahi wa sallam bersabda, ‘diantara kesempurnaan iman seseorang adalah, meninggalkan suatu pekerjaan yang tidak menjadi kepentingannya.” (HR. Tirmidzi)
6. Memiliki rasa muraqabah akan menjadikan seseorang akan menjaga dan memelihara hak-hak Allah Subhanahu wa ta’ala sebagai suatu kewajiban bagi dirinya, sehingga ia akan menjalankan segala bentuk perintah dan meninggalkan segala bentuk larangan. Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda :
عَنِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: كُنْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فَقَالَ، يَا غُلاَمُ، إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ، احْفَظِ اللهَ يَحْفَظُكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ… “Dari Ibnu Abas ra, berkata; pada suatu hari saya berada di belakang Nabi Muhammad SAW, lalu beliau berkata, “Wahai ghulam, peliharalah (perintah) Allah, niscaya Allah akan memeliharamu. Dan peliharalah (larangan) Allah, niscaya niscaya kamu dapati Allah selalu berada di hadapanmu.” (HR. Tirmidzi)
7. Muraqabah menjadikan seseorang tidak akan berbuat dzalim baik terhadap orang lain maupun terhadap dirinya sendiri. Mengenai kedzaliman ini disinggung dalam firman Allah ta’ala :
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ إِنَّكُمْ ظَلَمْتُمْ أَنفُسَكُمْ بِاتِّخَاذِكُمُ الْعِجْلَ فَتُوبُواْ إِلَى بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ عِندَ بَارِئِكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, sesungguhnya kamu telah menganiaya dirimu sendiri karena kamu telah menjadikan anak lembu (sembahanmu), maka bertaubatlah kepada Tuhan yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu; maka Allah akan menerima taubatmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang." (QS.Al Baqarah: 54 ) P e n u t u p
Sebagai orang Muslim wajib baginya untuk mengkondisikan dirinya untuk selalu merasa diawasi Allah Ta’ala di setiap waktu kehidupan hingga akhir kehidupannya, bahwa Allah Ta’ala melihatnya, mengetahui rahasia-rahasianya, memperhatikan semua amal perbuatannya, mengamatinya, dan mengamati apa saja yang dikerjakan oleh semua jiwa. Dengan cara seperti itu, diri orang Mukmin selalu merasakan keagungan Allah Ta’ala dan kesempurnaanNya, tentram ketika ingat nama-Nya, merasakan ketentraman ketika taat kepada-Nya, ingin bertetanggaan dengan-Nya, datang menghadap kepada-Nya, dan berpaling dari selain-Nya.
Selain dari itu seseorang muslim yang muraqabah merasa dirinya selalu dalam pengawasan Allah subhanahu wa ta’ala, akan menjadikan dirinya selalu berada dalam kesadaran tinggi menjaga, mengekang tali kendali nafsu agar tidak tergoda oleh bujuk rayu iblis yang selalu akan menjerumuskan manusia ke dalam berbagai bentuk perbuatan yang dimurkai Allah.
Seseorang yang selama ini belum memiliki rasa muraqabah atau telah kehilangan rasa muraqabah tersebut seyogyanya untuk segera bertaubat dengan meninggalkan semua perbuatan tercela yang telah dilakukannya, namun taubat saja belum cukup kalau tidak diikuti dengan mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala sehingga Allah akanmenjadi ridha. ( Wallaahu’alam bishawab)
Sumber: 1. Al-Qur’an dan terjemahan
2. Ensiklopedi Hadits Kitab 9 ImamAllah SWT berfirman (yang artinya): Dia selalu bersama kalian di mana pun kalian berada (QS al-Hadid: 4); Sesungguhnya tidak ada sesuatupun yang tersembunyi di mata Allah, baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi (QS Ali Imran: 6); Allah mengetahui mata yang berkhianat [yang mencuri pandang terhadap apa saja yang diharamkan] dan apa saja yang tersembunyi di dalam dada (QS Ghafir: 19).
Sebagian ulama mengisyaratkan, ayat-ayat ini merupakan tadzkirah (peringatan) bahwa: Allah Maha Tahu atas dosa-dosa kecil, apalagi dosa-dosa besar; Allah Maha Tahu atas apa saja yang tersembunyi di dalam dada-dada manusia, apalagi yang tampak secara kasat mata.
Di sinilah pentingnya muraqabah. Muraqabah (selalu merasa ada dalam pengawasan Allah SWT) adalah salah satu maqam dari sikap ihsan, sebagaimana yang pernah diisyaratkan oleh Malaikat Jibril as. dalam hadits Rasulullah SAW, saat beliau ditanyakan: apa itu ihsan? Saat itu Malaikat Jibril as sendiri yang menjawab, “Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat Dia. Jika engkau tidak melihat Allah maka sesungguhnya Dia melihat engkau.” (HR Muslim).
Demikian pula sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits penuturan Ubadah bin ash-Shamit, bahwa Baginda Rasulullah SAW pernah bersabda, “Iman seseorang yang paling utama adalah dia menyadari bahwa Allah senantiasa ada bersama dirinya di manapun dia berada.” (HR al-Baihaqi, Syu’ab aI-Iman, I/470).
Dalam hadits lain Baginda Rasulullah bersabda, “Bertakwalah engkau dalam segala keadaanmu!” (HR at-Tirmidzi, Ahmad dan ad-Darimi).
Dalam Tuhfah al-Awadzi bi Syarh Jâmi’ at-Tirmidzi, disebutkan bahwa frase haytsumma kunta (dalam keadaan bagaimanapun) maksudnya dalam keadaan lapang/sempit, senang/susah, ataupun riang-gembira/saat tertimpa bencana (Al-Mubarakfuri, VI/104). Haytsumma kunta juga bermakna: di manapun berada, baik saat manusia melihat Anda ataupun saat mereka tak melihat Anda (Muhammad bin ‘Alan ash-Shiddiqi, Dalil al-Falihin, I/164).
Terkait dengan sikap muraqabah atau ihsan ini, ada riwayat bahwa Umar bin al-Khaththab pernah menguji seorang anak gembala. Saat itu Umar membujuk sang gembala agar menjual domba barang seekor dari sekian ratus ekor domba yang dia gembalakan, tanpa harus melaporkannya ke majikan sang gembala. Toh sang majikan tak akan mengetahui karena banyaknya domba yang digembalakan. Namun, apa jawaban sang gembala. “Kalau begitu, di mana Allah? Majikanku mungkin memang tak tahu. Namun, tentu Allah Maha Tahu dan Maha Melihat,” tegas sang gembala.
****
Jujur harus kita akui, sikap muraqabah (selalu merasa dalam pengawasan Allah SWT), sebagaimana yang ditunjukkan oleh sang gembala dalam kisah di atas, makin jauh dari kehidupan banyak individu Muslim saat ini. Banyak Muslim yang berperilaku seolah-olah Allah SWT tak pernah melihat dia.
Tak ada lagi rasa takut saat bermaksiat.
Tak ada lagi rasa khawatir saat melakukan dosa.
Tak ada lagi rasa malu saat berbuat salah.
Tak ada lagi rasa sungkan saat berbuat keharaman.
Setiap dosa, kemaksiatan keharaman dan kesalahan ‘mengalir’ begitu saja dilakukan seolah tanpa beban. Banyak Muslim saat ini yang tak lagi merasa risih saat korupsi, tak lagi ragu saat menipu, tak lagi merasa berat saat mengumbar aurat, tak lagi merasa berdosa saat berzina, tak lagi merasa malu saat selingkuh, dll.
Semua itu terjadi akibat mereka gagal ‘menghadirkan’ Allah SWT di sisinya dan melupakan pengawasan-Nya atas setiap gerak-gerik dirinya. Mengapa gagal? Karena banyak individu Muslim yang awas mata lahiriahnya, tetapi buta mata batiniahnya. Mereka hanya mampu melihat hal-hal yang kasat mata, tetapi gagal ‘melihat’ hal-hal yang gaib: pengawasan Allah SWT; Hari Perhitungan, surga dan neraka, pahala dan siksa, dst. Yang bisa mereka lihat hanyalah kenikmatan dunia yang sedikit dan kesenangan sesaat. Tentu, kondisi ini harus diubah, agar seorang Muslim kembali memiliki sikap muraqabah.
****
Adanya sikap muraqabah pada diri seorang Muslim paling tidak dicirikan oleh dua hal.
Pertama : selalu berupaya menghisab diri, sebelum dirinya kelak dihisab oleh Allah SWT.
Kedua : sungguh-sungguh beramal shalih sebagai bekal untuk kehidupan sesudah mati.
Dua hal inilah yang disabdakan oleh Rasulullah SAW, “Orang cerdas adalah orang yang selalu menghisab dirinya dan beramal shalih untuk bekal kehidupan setelah mati. Orang lemah adalah orang yang selalu memperturutkan hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah SWT.” (HR at-Tirmidzi, Ahmad, Ibn Majah dan al-Hakim).
Ketiga : meninggalkan hal-hal yang sia-sia, sebagaimana sabda Nabi SAW, “Di antara kebaikan keislaman seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tak berguna.” (HR at-Tirmidzi). Jika yang tak berguna saja-meski halal-ia tinggalkan, apalagi yang haram.
Itulah di antara wujud sikap muraqabah. Semoga kita adalah pelakunya. [] abi
3. Madarijus Salikin, Pendakian Menuju Allah, Ibnu Qayyim al-Jauziyah
4. Syarah Asma’-Ul Husna, DR. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani
5. Buku Pintar Aqidah Ahlussunah, Syaikh Al-Allamah Hafizh bin Ahmad Al-Hikami
6. Blog Meraih Cahaya Illahi, Artikel Rikza Maulan, Lc., M.Ag.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar